Entah akan beresiko menjadi
beruntung ataupun sebaliknya, seharusnya prinsip berlaku jujur harus
ditegakkan. Apapun hasil yang diterima.
Sangat mungkin terjadi, seorang
mahasiswa yang jujur kepada dosennya bahwa ia telah melakukan menyontek. Akan
diberikan ucapan atas kejujuran tetapi tetap saja menjadi tidak lulus, karena
dalam kontrak pengajaran memang sudah disepakati. Yang nyontek maka tidak
lulus.
Seorang pedagang berlaku Jujur.
Dagangannya malah menjadi kurang laku dan dia tidak disukai penjual sekitarnya.
Padahal kalo dia mau ikuti kebiasaan pedagang lainnya, ia akan membawa untung
yang lebih banyak.
Seorang Polisi sederhana yang jujur.
Dia tidak disukai rekan-rekan sejawatnya, karena tidak mau terlibat dalam
usaha-usaha yang berbau korup. Padahal jika dia mau ikut saja atau minimal
menyetujui kekotoran itu, maka uang dan harta akan mudah mengalir.
Sobat, jujur terkadang memang tidak
nyaman. Tetapi melahirkan ketentraman. Jujur sering dihadapi dengan hati yang
’sulit’ terutama ketika bertemu situasi dengan pilihan instant untung rugi,
dipuji dimarahi dan berbagai kondisi yang tidak mengenakkan.
Membaca dan merenungi ayat dibawah
ini, QS. At Taubah (9) : 118. Mengingatkan diri kita, bahwa sebuah kejujuran
tidak harus selalu beruntung tetapi butuh proses panjang untuk memperoleh
ujung yang membahagiakan. Dan itu adalah bagian dari seleksi ujian
dari Allah, sehingga akan ter-eliminasi orang-orang yang tidak serius dalam
beriman, palsu dalam bertaubat. Dan akan melahirkan pribadi-pribadi istimewa
yang benar-benar tangguh dalam menggengam sifat-sifat wajib manusia beriman,
dimana Kejujuran adalan salah satunya.
وَعَلَى الثَّلاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّى إِذَا ضَاقَتْ
عَلَيْهِمُ الأرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا
أَنْ لا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا
إِنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
Dan terhadap tiga orang[665] yang
ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi
sempit bagi mereka, Padahal bumi itu Luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula
terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari
dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. kemudian Allah menerima taubat
mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
[665] Yaitu Ka’ab bin Malik, Hilal
bin Umayyah dan Mararah bin Rabi’. mereka disalahkan karena tidak ikut
berperang.
Inilah kisah sahabat yang mulia tersebut
:
Ka’ab bin Malik adalah salah seorang sahabat Nabi yang mendapat anugerah
Allah berupa kepiawaian dalam bersyair dan berjidal. Syair-syairnya banyak
bertemakan peperangan. Kemampuan sebagai penyair ini, mengantarkannya menduduki
posisi khusus di sisi Nabi, selain dua sahabat yang lain, yaitu Hassan bin
Tsabit dan Abdullah bin Rawahah. Ka’ab bin Malik termasuk pemuka sahabat dari
kalangan Anshar yang berasal dari suku Khazraj. Nama lengkapnya ialah ‘Amr bin
Al Qain bin Ka’ab bin Sawaad bin Ghanm bin Ka’ab bin Salamah. Pada masa
jahiliyah, ia dikenal dengan kunyahnya (panggilan) Abu Basyir.
Kisah kejujuran Ka’ab bin Malik ini,
berawal saat Rasulullah telah mengambil keputusan untuk menyerang Romawi.
Beliau memobilisasi para sahabat untuk tujuan itu. Kaum rnuslimin segera
melakukan persiapan dan berlomba-lomba menginfakkan harta yang mereka miliki.
Di tengah kesibukan kaum muslimin
melakukan persiapan, ada seorang sahabat yang belum memulainya. la bernama
Ka’ab bin Malik. Kali ini, Allah hendak mengujinya dengan perang Tabuk.
Pada masa tuanya, Ka’ab bin Malik
menuturkan kisahnya kepada putranya : “Aku tidak pernah absen dalam satu
peperangan pun bersama Rasulullah kecuali dalam perang Tabuk dan perang Badr.
Tatkala Rasulullah berangkat bersama pasukan, aku masih terlambat dan belum
sempat melakukan persiapan. Batinku berharap, aku bisa menyusul mereka. Namun
akhirnya, langkahku benar- benar terhambat. Kesedihanku bertambah, ketika aku
tahu bahwa orang-orang yang tidak bergabung dalam jihad itu hanya orang-orang
yang tertuduh munafik atau kaum yang lemah fisiknya”.
Saat Rasulullah tiba di Tabuk,
Beliau bertanya: “Apa yang terjadi dengan Ka’ab?”
Seorang laki-laki dari kaumku dengan
kiasan menjawab,”Baju kesayangannya telah menahannya”. Namun Mu’adz menangkisnya,”Sungguh
buruk perkataanmu. Demi Allah, kami tidak mengetahui tentang dirinya kecuali
baik saja”. Rasulullah terdiam.
Ketika Rasulullah, kembali dari
peperangan, orang-orang yang absen segera menemui Beliau, untuk menyampaikan
alasan-alasan mereka. Jumlah mereka delapan puluh orang lebih. Rasulullah pun
menerima alasan-alasan mereka dan memohonkan ampun bagi mereka.
Sempat terbesit dalam benakku untuk
mengajukan alasan dusta kepada Beliau, agar aku selamat dari kemarahan Beliau.
Namun kuurungkan niatku dan kubulatkan tekad untuk berkata jujur kepada Beliau.
Aku mengucapkan salam kepada Beliau, Beliau tersenyum kecut kepadaku.
Beliau berkata,”Kemarilah!”
Aku pun mendekat dan duduk di
hadapan Beliau.
Beliau bertanya kepadaku,”Apa yang
menahanmu? Bukankah engkau telah mempertaruhkan punggungmu?”
Aku menjawab,”Benar, wahai
Rasulullah. Demi Allah, seandainya saat ini aku duduk di hadapan orang selain
engkau, tentu aku sampaikan segala argumentasi yang dapat menyelamatkanku dari
kemarahan, lantaran aku ahli berjidal (pandai bicara). Namun aku sungguh
mengetahui, seandainya hari ini aku berdusta supaya engkau memaklumiku, niscaya
Allah yang akan memberitahukan kepada engkau. Aku mengatakan alasan yang
sebenarnya dengan jujur kepadamu. Dan sungguh, aku berharap ampunan Allah
dengan kejujuranku. Demi Allah, aku sama sekali tidak memiliki alasan saat aku
berdiam di rumah dan tidak ikut serta perang bersamamu.”
Beliau berkata,”Laki-laki ini telah
berkata jujur. Berdirilah sampai Allah memutuskan perkaramu,” aku pun berdiri
dan meninggalkan Beliau.
Sekelompok laki-laki dari Bani
Salimah mengejarku seraya berkata,”Demi Allah, kami tidak mengetahui engkau
melakukan dosa sebelum ini. Mengapa engkau tidak beralasan seperti yang
dilakukan orang-orang itu? Sungguh, permohonan ampun Rasulullah untukmu akan
menghapus dosamu.”
Mereka terus membujukku hingga aku
berpikir untuk kembali kepada Rasulullah dan berdusta kepada Beliau. Aku
bertanya kepada mereka,”Adakah orang yang mengalami hal yang sama sepertiku?”
Mereka menjawab,”Ada! Dua orang
laki-laki yang mengatakan alasan seperti alasanmu. Dan Rasulullah mengatakan
perkataan yang sama kepada mereka, seperti yang Beliau katakan kepadamu.”
Aku bertanya,”Siapa mereka?”
Mereka menjawab,”Murarah bin Ar
Rabi’ Al ‘Amri dan Hilal bin Umayyah Al Waqifi.”
Mereka adalah dua orang sahabat yang
ikut dalam perang Badr dan pada diri mereka terdapat suri tauladan. Aku pun
berlalu meninggalkan mereka.
Sejak saat itu, Rasulullah melarang
para sahabat berbicara dengan kami, tiga orang yang tidak ikut dalam perang
Tabuk. Dua sahabatku, mereka tak tahan menghadapi hajr (isolasi) yang dilakukan
kaum muslimin terhadap kami. Mereka mengurung diri dalam rumah dan tak pernah
berhenti menangis. Sedangkan aku adalah orang yang termuda dan terkuat di
antara mereka. Kukuatkan hatiku untuk menemui orang-orang, berharap akan ada
seseorang yang menyapaku. Namun tak ada seorang pun yang mau berbicara
denganku.
Ketika aku memasuki masjid,
kuucapkan salam kepada Rasulullah. “Apakah Beliau akan menggerakkan bibirnya
untuk menjawab salamku?” tanya hatiku.
Aku pun shalat dan mengambil posisi
terdekat dengan Beliau. Aku mencuri-curi pandang kepada Beliau. Ketika aku
fokuskan pandangan pada shalatku, Beliau memandangku. Dan bila aku meliriknya,
Beliau memalingkan wajahnya dariku.
Keadaan itu terus berlanjut hingga
beban itu kian berat kurasakan. Aku pun menemui Abu Qatadah, sepupuku dan orang
yang sangat kucintai. Aku memanjat dinding rumahnya dan kuucapkan salam
padanya. Namun dia tidak menjawab salamku. Aku berkata memelas padanya, “Wahai,
Abu Qatadah! Demi Allah, bukankah engkau mengetahui bahwa aku mencintai Allah
dan RasulNya?”
la hanya terdiam dan tidak
menanggapi perkataanku. Kuulangi kata-kataku tadi berkali-kali, hingga ia
berujar singkat: “Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui”. Air mataku pun
meleleh tanpa bisa kutahan. Aku berlalu.
Suatu ketika, saat aku berjalan di
pasar kota Madinah, seorang laki-laki dari Syam yang menjual makanan di pasar
itu bertanya kepada orang- orang: “Siapakah yang mau menunjukkan Ka’ab bin
Malik kepadaku?”
Orang-orang pun memberitahukannya.
Dia pun mendatangiku. Kemudian menyerahkan sehelai surat dari Raja Ghassan.
Tertulis dalam surat itu:
“Telah sampai berita kepadaku, bahwa
temanmu telah menyia-nyiakanmu. Sedangkan Allah tidak menjadikanmu orang yang
terhina dan tersia-siakan. Bergabunglah dengan kami, maka kami akan
rnenolongmu”.
Aku berkomentar,”lni pun cobaan
untukku,” lalu aku lempar surat itu ke dalam tungku api.
Setelah berlalu empat puluh hari
semenjak Rasulullah dan para sahabat mengisolasi kami, tiba-tiba datang utusan
Beliau dengan membawa perintah agar aku menjauhi istriku. Aku bertanya, “Apakah
aku harus menceraikannya atau apa yang harus kulakukan?”
Sang utusan menjawab,’Tidak, tapi
jauhilah ia dan jangan engkau sentuh.”
Aku berkata kepada istriku,
“Kembalilah kepada keluargamu. Tinggallah bersama mereka sampai Allah
memutuskan perkara ini.”
Keadaan seperti itu terus berlanjut.
Hingga tibalah suatu pagi selepas aku shalat shubuh. Kondisiku saat itu seperti
yang ijak seakan tak kukenali lagi.
Tiba-tiba aku mendengar seseorang
berteriak: “Wahai, Ka’ab bin Malik! Berbahagialah!” Aku pun segera menghaturkan
syukur dengan sujud kehadiratNya. Sungguh telah datang jalan keluar bagi kami.
Rasulullah telah mengumumkan kepada para sahabat setelah shalat Shubuh. Allah
telah menerima taubat kami.
Orang-orang berbondong-bondong
menemui kami dan mengekspresikan kegembiraan mereka atas berita ini. Sungguh
tak terlukiskan kebahagiaanku saat itu. Aku memberikan dua baju yang kukenakan
kepada laki-laki yang datang membawa kabar gembira itu. Padahal saat itu, aku
tidak memiliki baju selain kedua baju itu. Oleh karena itu, aku meminjam baju
dan bergegas ke masjid menemui Rasulullah.
Saat itu Beliau dikelilingi para
sahabat. Tiba-tiba Thalhah bin Ubaidillah berdiri dan berlari kecil
menghampiriku, kemudian ia menggamit tanganku dan menyalamiku seraya
mengucapkan selamat untukku. Sungguh, tidak ada seorang pun yang berdiri dan
melakukan seperti yang ia lakukan, hingga aku pun tidak pernah melupakan
kebaikannya itu.
Aku pun masuk masjid dan mengucapkan
salam kepada Rasulullah. Saat itu wajah Beliau berseri-seri dan bersinar bak
rembulan. Tatkala aku sudah duduk di depan Nabi, Beliau berkata: “Berbahagialah
dengan hari terbaik yang engkau jumpai semenjak ibumu melahirkanmu”.
“Apakah pengampunan ini darimu,
wahai Rasulullah? ataukah dari Allah?” tanyaku.
Beliau menjawab, “Tidak! Pengampunan
ini datang langsung dari sisi Allah.”
Aku berkata kepada Beliau:
“Wahai, Rasulullah! Sungguh, sebagai
cerminan nyata taubatku, aku sedekahkan hartaku di jalan Allah”.
Beliau berkata, “Tahanlah sebagian
hartamu untuk dirimu, karena itu lebih baik bagimu.”
Aku mentaati perintah Beliau dan
berkata: “Kalau begitu, aku tahan anak panahku yang kugunakan dalam perang
Khaibar. Dan sungguh Allah telah menyelamatkanku dari perkara pelik ini karena
kejujuran. Maka sebagai wujud taubatku pula, aku tidak akan berbicara kecuali
dengan jujur”. Sungguh, aku tidak mengetahui ada orang lain yang mendapat ujian
kejujuran seperti Allah mengujiku. Hingga sampai saat ini, aku tidak pernah
bicara dusta satu kali pun sejak berjanji kepada Rasulullah. Dan aku morion
kepada Allah agar menjagaku pada sisa umurku ini”.
Demikianlah sosok Ka’ab bin Malik.
Seorang mujahid di jalan Allah dengan pedang dan lisannya. Sosok patriot yang
memiliki kejujuran setegar batu karang. Tak terkikis oleh ujian yang
menyempitkan hatinya. Dijalaninya sisa hidupnya dengan selalu menggenggam
kejujuran. Pada masa tuanya, ia kehilangan penglihatannya. Dan putranya,
Abdullah yang menjadi pemandu sejak Allah menghilangkan penglihatannya. Ka’ab
bin Malik wafat pada masa pemerintahan Mu’awiyyah bin Abi Sufyan. Semoga rahmat
dan keridhaan Allah senantiasa tercurah atas diri penyair Rasulullah ini.
*****
Semoga sosok Ka’ab yang jujur ,
pemberani dan sabar menanggung resiko tersebut menular kepada bangsa ini.
Bayangkan, alangkah mudahnya andai : Beliau berbohong saja, maka ia akan
selamat (baca:sementara) seperti orang-orang munafik lainnya. Atau menerima
tawaran dari utusan Raja Ghassan, bukankah akan dimulyakan jikalau dia mau
berpindah kesana. TETAPI dengan SEMANGAT baja tetap memilih JUJUR, dan BERSABAR
dalam menjalani proses TAUBAT dan memilih Allah dan Rasul-Nya sehingga selamat
di Akherat dan di dunia. InsyaAllah.
Apakah kita berani menirunya??